Rabu, 06 April 2011

Kata Selembar Kertas Seputih Salju

Kata selembar kertas seputih salju,”Aku tercipta secara murni, kerana itu aku akan tetap murni selamanya. Lebih baik aku dibakar dan kembali menjadi abu putih daripada menderita kerana tersentuh kegelapan atau didekati oleh sesuatu yang kotor.”
Tinta botol mendengar kata kertas itu. Ia tertawa dalam hatinya yang hitam, tapi tak berani mendekatinya. Pensil-pensil beraneka warna pun mendengarnya, dan mereka pun tak pernah mendekatinya. Dan selembar kertas yang seputih salju itu tetap suci dan murni selamanya -suci dan murni- dan kosong

KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Label:

MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Label:

PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

Label:

Selasa, 05 April 2011

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Label:

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

Label:

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai



Maju
Serbu
Serang
Terjang

Label:

Senin, 04 April 2011

DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Label:

HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

Label:

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943

Label:

Minggu, 03 April 2011

SENJA DI PELABUHAN KECIL

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Label:

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

Label:

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

Label:

Sabtu, 02 April 2011

PUISI KEHIDUPAN

Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru
Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah

Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku
Karena ibadahku masih pas-pasan

Kuraba dahiku
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku

Ya Allah
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?

Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah…

Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…

Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…
Ya Allah,
Ijikanlah

Label:

DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Label:

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

Label:

MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Label:

Jumat, 01 April 2011

Bertemu Pujaan Chairil Anwar

Ketika memasuki rumah cukup luas di kawasan elit Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pekan lalu, seorang petugas menyapa saya, ”Mau bertemu ibu sepuh?”
Kemudian, di ruang tengah yang luas, saya diminta menunggu, karena sang ibu tengah shalat dzuhur. Setengah jam kemudian keluarlah seorang nenek dari kamarnya seorang diri menggunakan kursi roda. Dia adalah Sri Ayati, kelahiran Tegal 88 tahun yang lalu, yang pada tahun 1957 mendapat persembahan khusus sebuah puisi dari Chairil Anwar.
Puisi karya Chairil Anwar berjudul Senja di Pelabuhan Kecil itu dinilai oleh kritikus sastra HB Jassin berisi ‘kerawanan hati, suatu kesedihan yang mendalam yang tidak terucapkan.’ ”Saya tahu dari almarhumah Mimiek, anak angkat Sutan Syahrir, bahwa Chairil Anwar membuat sajak untuk saya,” kata nenek empat anak dan sejumlah cucu yang masih berbicara jelas dan daya ingatnya masih kuat itu.
”Alhamdulillah, memori saya masih baik dan tidak pikun. Hanya mata saya tidak dapat melihat lagi, karena penyakit glukoma,” kata nenek yang telah empat bulan berada di Jakarta diboyong oleh putra bungsu dan menantunya untuk berobat. Nenek yang tinggal di Magelang itu menolak kalau dikatakan bahwa masa mudanya berwajah jelita dan menyebabkan Chairil jatuh cinta sampai membuat sajak untuknya.
”Saya tahu kalau Chairil membuat sajak untuk saya dari almarhumah Mimiek, puteri angkat mantan PM Sutan Syahril. Mimiek datang ke rumah saya di Serang. Waktu itu saya sudah bersuami dokter RH Soeparno, dan memiliki seorang anak. Kami kemudian bermukim di Magelang, karena suami saya ditugaskan di sebuah rumah sakit militer di sana. Padahal ketika itu saya lama tidak ketemu Chairil,” kata nenek yang tampak masih sehat dalam usianya yang mendekati kepala sembilan itu.
Sri Ayati mengaku baru kenal baik dengan Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta (kini gedung RRI, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat). Nama radio Jepang setelah NIROM (radio Belanda) ditutup itu adalah Jakarta Hoso Kyokam. Dia pernah lama ngobrol dengan Chairil di kediamannya, Jl Kesehatan V, Petojo, Jakarta Pusat.
Suatu ketika Chairil datang ke rumahnya, “Saya duduk di korsi rotan dan dia duduk di lantai sebelah kanan saya. Ia bercerita baru saja mengunjungi seorang teman bernama Sri. Sang gadis yang bernama Sri memakai baju daster (kala itu disebut housecoat). Ia bercerita sambil memegang daster yang saya pakai. Chairil bercerita, daster yang dipakai Sri dari sutera asli. Kebetulan daster yang saya pakai juga dari sutera asli. Kala itu saya tidak tahu siapa yang dimaksud Chairil gadis bernama Sri itu,” kenangnya.
Sri Ayati mengaku heran, kenapa Chairil membuat sajak untuknya. Padahal, ketika itu ada sejumlah teman wanitanya yang lain, seperti Gadis Rasyid, Nursamsu, dan Zus Ratulangi. Chairil, ketika itu juga dekat dengan Usmar Ismail, Rosihan Anwar dan HB Jassin. Chairil sendiri tidak pernah menyatakan cintanya kepada Sri Ayati.
Ketika ditanya tentang sosok seniman Chairil Anwar yang sajak-sajaknya dikenal luas hingga saat ini, Sri Ayati mengatakan, penyair pelopor Angkatan 45 yang meninggal dunia pada 28 April 1949 itu kurang mengurus dirinya. ”Rambutnya acak-acakan. Matanya merah, karena kurang tidur. Di tangan kiri dan kanannya penuh buku-buku. Memang Chairil dikenal sebagai kutu buku,” katanya.
Sri Ayati, yang juga seorang seniwati dan pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), menilai bahwa Chairil adalah seorang seniman yang jujur, tak tahan dan tidak bisa melihat hal-hal yang kurang baik. ”Kalau saja dia hidup pada zaman Orde Baru, saya kira pasti dia ditahan karena dia akan berani mengkritik hal-hal yang dianggapnya kurang baik dan kurang benar,” kata nenek yang menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis itu.
Sri Ayati pernah sekolah MULO di Batavia, sebelum ke Fakultas Sastra UI. Mutu pendidikan di masa kolonial, menurutnya, jauh lebih bermutu dari pada sekarang. Bung Karno ketika masih sekolah di HBS sudah dapat menguasai bahasa Belanda dan Inggris. Bahkan, membuat karangan-karangan dalam bahasa tersebut. Sayangnya, pemerintah kolonial melakukan diskriminasi dalam bidang pendidikan. Hanya golongan priyayi yang dibolehkan sekolah oleh Belanda.
Sri Ayati mengaku merasa seperti anak Betawi. Karena, sejak berusia 8 ia dibawa ayahnya ke Jakarta dan tinggal di Gang Seha, Pecenongan, Jakarta Pusat. Pada tahun 1997, dia pernah bertemu bekas tetangganya, bernama Adrian Seha, di Borobudur, Magelang. ”Saya tanya apa ada hubungan namanya dengan nama Gang Seha?”
Adrian Seha, ketika itu menjawab, ”Nama Gang Seha mengabadikan nama kakek saya, seorang tuan tanah yang tinggal di gang tersebut.” Sri Ayati juga pernah tinggal di Gang Adjudant (kini Kramat II), Kwitang, Jakarta Pusat. Di Kwitang, yang menjadi tuan tanah adalah keluarga Alkaff. Di Kwitang, Alkaff menyewakan puluhan rumah. Keluarga ini, sampai awal 1970-an, juga memiliki banyak rumah dan tanah di Singapura.
Sampai sekarang di Singapura ada kawasan Alkaff, yang kini sudah dikuasai Cina. Tapi, masjid yang dibangun keluarga Alkaff masih tetap berdiri. Di Jakarta, dulu juga banyak jalan yang memakai nama keluarga Arab, seperti Alatas Laan di Cikini (kini Jl Cilosari), Gang Alhadad di Bukitduri, Jatinegara, dan Gang Bafadal di Matraman.
Ketika saya wawancarainya, pekan lalu, Sri Ayati sempat membacakan sebuah Renungan Jiwa dalam bahasa Inggris yang dibuatnya di Magelang, Desember 2002. Petikannya, antara lain, ”Sekarang saya mendekati akhir dari perjalanan hidup saya. Saya tidak bersedih dan bukan suatu yang menakutkan. Apabila Allah memanggil saya, saya siap untuk menghadapNya. Dengan harapan penuh agar saya dikaruniai Khusnul khatimah.”
Ketika menulis renungan tersebut Sri Ayati mengaku sudah siap meninggalkan dunia fana ini. Tapi, ternyata masih diberi umur panjang. ”Sekarang saya menghabiskan waktu untuk shalat, zikir dan ibadah,” katanya.

Label:

Chairil Anwar Legenda Sastra yang Disalahpahami

Chairil Anwar adalah legenda sastra yang hidup di batin masyarakat
 Indonesia. Ia menjadi ilham bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya.

Namun siapa sangka, penyair yang memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan lama ini adalah juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya untuk puisi?
Berikut ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang  sebagian besar bahannya dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief
Budiman, ditambah beberapa referensi lain serta sejumlah wawancara.

"Di Jalan  Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang
jadi kantor Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya luar biasa banyak.

Saya dan Chairil suka mencuri buku di situ," begitu Asrul Sani pernah
bercerita.

"Suatu kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. `Wah, itu buku mutlak harus dibaca,' kata Chairil pada saya. `Kau perhatikan orang itu, aku mau mengantongi Nietzsche ini.' Chairil memakai celana komprang dengan dua saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu."
Buku-buku filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara
buku-buku agama. Kebetulan buku Nietzsche ukuran dan warna  sampulnya yang hitam persis betul dengan kitab Injil. "Sementara Chairil
mengantongi buku, saya memperhatikan pelayan toko," kata Asrul. "Hati saya deg-degan setengah mati.

Setelah buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan
tenang. Tapi sampai di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah, salah
ambil aku!' sambil tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya  Chairil salah mengambil Injil. Kami kecewa sekali."

Chairil Anwar memang seorang "penggila" buku, yang dengan rakus
melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke, Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi.

Tapi dia adalah penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak
punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah
lakunya menjengkelkan. Alhasil, lengkaplah "ciri-ciri" seniman pada
dirinya.

Namun, dia juga contoh yang baik tentang totalitas berkesenian dalam dunia sastra Indonesia. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan, di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur sebuah surat kabar, politikus, atau lainnya, ia semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi.
Tak Terurus. Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun
1943. H.B. Jassin punya cerita. "Suatu hari di tahun 1943," tuturnya,
"Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya.

Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah Pandji Pustaka. Tapi didapatnya keterangan bahwa sajak-sajaknya tidak mungkin dimuat. Kata pemimpin majalah itu, `Susunan Dunia Baru' (sajak Chairil) tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu mem-Barat."
Sejak itu sang penyair sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan
(Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi.

Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).
Bukan secara kebetulan agaknya jika sajak-sajak Chairil memiliki
nuansa individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan kesenian agaknya telah menuntun sang penyair terjerembab dalam sebuah ritus pencarian filosofis.

Semacam tertuntun pada sebuah kredo bahwa di dalam kesenian, berfilsafat menjadi keniscayaan yang menusuk. Terutama karena berkesenian mengharuskan sang seniman berhadapan dengan problem-problem tentang ketuhanan, kebebasan, dan apa saja.
Salah Kaprah. Buat kita sekarang, sosok Chairil sudah lekat dengan citra
kepenyairan Indonesia. Sejumlah larik puisi dari penyair kita ini telah menjadi semacam pepatah atau kata-kata mutiara yang hidup di kalangan
masyarakat:

"Aku ini binatang jalang", "Hidup hanya menunda kekalahan",
"Aku mau hidup seribu tahun lagi", dan masih banyak lagi. Atau    bertanyalah pada siswa SLTP dan SLTA siapa penyair kondang Indonesia, niscaya mereka akan menyebut namanya, lengkap dengan beberapa judul syairnya.

Tapi mungkin tidak banyak yang tahu, ada yang salah dalam persepsi kita
mengenai tokoh yang satu ini. Ada yang salah kaprah. Sebagai ilustrasi, sajak "Aku" lebih sering dipahami banyak orang sebagai sajak  pemberontakan terhadap penjajahan. Padahal tidak. Kata Asrul Sani, sajak itu sebenarnya tidak lebih dari "teriakan putus asa dan rasa getir", termasuk penolakan terhadap sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya, yaitu ayahnya.

Sajak "Diponegoro" juga sering dikira sajak perjuangan.
Padahal, seperti pernah diulas Arief Budiman, sajak itu adalah cerminan dari ekspresi kekaguman Chairil pada semangat hidup Pangeran Diponegoro, di saat jiwanya amat diresahkan dengan kematian dan absurditas.

Ia menulis puisi pertamanya, "Nisan", pada Oktober 1942, ketika ia berusia 20 tahun, ketika teknik persajakan belum dikuasainya benar. Para
pengamat sastra menganggap sajak ini sebagai sajak tertuanya. Padahal, menurut H.B. Jassin, sebelum "Nisan" Chairil sudah lebih dulu membuat sajak-sajak corak Pujangga Baru, tapi karena tidak memuaskannya lalu dia buang.

                    Bukan kematian benar menusuk kalbu
                    Keridhaanmu menerima segala tiba
                    Tak kutahu setinggi itu di atas debu
                    Dan duka maha tuan tak bertahta.

Sajak "Nisan" ini, yang didedikasikan untuk neneknya yang baru meninggal, merupakan renungan Chairil tentang kematian, yang di matanya teramat misterius, namun tak terhindarkan oleh siapa pun.
Renungannya ini lalu menghantarkan ia pada pertanyan eksistensial: "Bila manusia mati, lantas apa gunanya segala usaha yang dilakukan dalam hidup ini?"
Pertanyaan filosofis itu terus mengejarnya, sementara kehidupan sendiri
tidak pernah memberinya jawaban yang memuaskan. Maka bukan hal yang aneh, di saat batin kemanusiaannya begitu merindukan semangat menghadapi hidup yang absurd dengan gagah berani, tiba-tiba Chairil mendapati sosok legendaris Pangeran Diponegoro sebagai perwujudan yang konkret dari kegairahannya mempertahankan hidup.

Inilah agaknya yang lalu mengilhaminya menulis sajak "Diponegoro", pada Februari 1943. Meski sama-sama berbicara tentang kematian, sajak-sajak yang ditulis Chairil menjelang akhir hayatnya lebih sublim dan intens.
Di samping teknik persajakan telah dikuasainya benar sehingga sajak-sajaknya terasa jernih, penghayatannya terhadap kehidupan (dan kematian) yang menjadi subjek puisi-puisinya juga telah mencapai klimaks kematangan sebagai seorang penyair.
Sajak pertama yang ditulis Chairil pada 1949 (tahun kematiannya)
adalah "Chairil Muda, Mirat Muda", dengan tambahan judul kecil
"Di Pegunungan 1943".

Sajak ini merupakan kenangan Chairil terhadap saat-saat yang paling
membahagiakan dalam hidupnya--sebuah perasaan yang wajar timbul pada orang-orang yang menyongsong kematian. Di akhir sajak tersebut ia
sempat menulis kata mati. Namun berbeda dengan sajak-sajaknya yang ditulis pada 1942, di mana kematian dipersoalkan dengan keterlibatan dan perhatian yang penuh, di sajak ini kematian diucapkannya dengan cara yang ringan saja.

Agaknya kematian bukan lagi sesuatu yang menjadi objek obsesinya, melainkan sebagai kenyataan yang sederhana, sama sederhananya dengan udara di muka bumi.
Dalam sajaknya "Yang Terampas dan yang Putus", juga ditulis pada 1949, Chairil malah secara jelas menulis kesiapannya untuk menghadapi
 kematian. Ia tiba-tiba menyadari bahwa impuls-impuls kehidupan tidak pernah sepenuhnya diam.

Demikian pula dalam sajak "Derai-Derai Cemara", yang ia tulis sesudahnya. Dalam sajak yang ia tulis setelah percakapan yang panjang dengan dua sahabatnya, Rivai Apin dan Asrul Sani, Chairil kembali menegaskan bahwa kehidupan adalah sebingkai misteri yang tidak bisa kita temui artinya, tapi pada saat yang sama kita memiliki impuls untuk mempertahankannya.
Kita hidup, menurut Chairil, untuk sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya.  Dan barangkali satu-satunya alasan untuk terus hidup adalah karena kita sedang mencari maknanya.
Namun misteri tetaplah sebuah misteri, ia tidak pernah akan bisa
terpecahkan. Karenanya mencari makna kehidupan adalah sesuatu yang sia-sia, meski harus terus dilakukan. Maka bagi Chairil, "hidup hanya
menunda kekalahan/ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah".

Penyair Terbesar. Chairil memiliki simpati yang sangat besar terhadap
upaya meraih kemerdekaan manusia, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari  penjajahan. Pada 1948, sebagai bukti perhatiannya pada situasi sosial-politik waktu itu, ia menulis sajak
"Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish.

                    Kenang, kenanglah kami
                    Teruskan, jiwa kami
                    Menjaga Bung Karno
                    menjaga Bung Hatta
                    menjaga Bung Syahrir.

Pada tahun yang sama, ia menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus
mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Belakangan, sajak Chairil yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak dipahami orang sebagai sajak perjuangan. Padahal, sajak-sajak ini adalah
jenis sajak individu, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
perjuangan kemerdekaan karena ditulis pada 1943. Namun dalam sajak "Aku" misalnya, di mana Chairil mengintroduksi dirinya sebagai "Aku binatang jalang", ia bisa menjelmakan kata hati rakyat Indonesia yang ingin bebas.

Dalam analisis Agus R. Sardjono, penyair terkemuka Bandung, sajak-sajak seperti "Krawang-Bekasi", "Persetujuan dengan Bung
Karno", "Aku",  dan "Diponegoro" inilah yang justru di kemudian hari membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia.

Hal itu dimungkinkan karena sajak-sajak ini bersifat sastra mimbar, untuk menyebut  jenis sajak-sajak yang bersifat sosiologis (yang berpretensi untuk menjawab atau menanggapi fakta-fakta sosial), dan biasanya dibaca dengan suara keras atau menyeru-nyeru, serta
dengan tangan terkepal.

Masih menurut Agus, nama Chairil mungkin tidak akan begitu populer seperti sekarang bila dia hanya menciptakan sajak yang berjenis sastra kamar, sajak-sajak yang kontemplatif dan personal. Betapapun tingginya mutu sajak "Derai-Derai Cemara", "Senja di Pelabuhan Kecil", atau "Yang terampas dan yang Putus" secara kesusastraan, namun sajak-sajak demikian sama sekali tidak memiliki peluang untuk diapresiasi secara massal.
Namun, dengan segala ketidaksempurnaannya, keberhasilan terbesar
Chairil bagi dunia persajakan Indonesia khususnya, dan bahasa Indonesia
pada umumnya, adalah kepeloporannya untuk membebaskan bahasa Indonesia dari aturan-aturan lama (ejaan van Ophusyen) yang waktu itu cukup mengekang, menjadi bahasa yang membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat pernyataan yang sempurna.

Kebebasan bahasa itu teramat penting. Terbukti Malasyia, negara yang
menggunakan bahasa Melayu, yang serumpun dengan bahasa Indonesia (tapi tidak pernah memiliki penyair sekaliber Chairil) dalam hal bahasa jauh tertinggal dari bangsa kita. Kebebasan bahasa itu adalah prestasi besar bangsa Indonesia.

Dengan itu kita dapat mengutarakan apa saja langsung dari lubuk hati
kita. Dan, seperti diamini banyak sastrawan kita, berkah itu adalah warisan Chairil Anwar, penyair terbesar yang pernah kita miliki.

Mengembara di Negeri Asing
Chairil Anwar tampaknya memang ditakdirkan untuk menjadi penyair yang disalahpahami. Tapi ia terbilang beruntung karena ia disalahpahami ke arah yang positif. Begitupun dalam hal religiusitas. Tidak sedikit orang yang menjulukinya penyair religius. Ini, antara lain, gara-gara sajak "Doa",
yang memang amat religius.
 
Tak jarang, dalam peringatan hari-hari besar agama  Islam (juga Kristen), sajak tersebut dibaca dan memperoleh apresiasi yang luas. Benarkah ia penyair religius? Menurut penuturan Ida Rosihan Anwar (istri wartawan kawakan Rosihan Anwar yang sangat dekat dengan Chairil) dalam
kesehariannya Chairil tidak pernah memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama. Ia tidak pernah tampak salat, berpuasa di bulan Ramadan, atau bahkan ikut bergembira pada Idul Fitri. Jadi, ia bukan muslim yang baik.
 
Namun, kalau kita mengacu pada kriteria filosof Paul Tillich tentang siapa
yang disebut religius, (yaitu mereka yang secara serius mencoba mengerti hidup ini secara lebih jauh dari batas-batas yang lahiriah saja), Chairil
termasuk kelompok ini.
 
Konklusi ini semata-mata bersandar pada penyerahan total Chairil untuk
menjawab pertanyaan "apa tujuan hidup saya", dalam sepanjang masa
hidupnya.
 
Dan karena agama bagi banyak orang di dunia ini dianggap sebagai
jawaban pertanyaan "apa tujuan hidup saya?", Chairil tidak luput
membicarakan agama dalam beberapa sajaknya. Sajak "Di Masjid", yang
ditulisnya pada 29 Mei 1943, adalah sajak pertama mengenai hal ini.
 
Dalam sajaknya ini ia menegaskan sikapnya yang tidak mau terikat
apa pun juga, serta bersedia menerima segala bentuk penderitaan sebagai akibat pilihannya. Dia menolak untuk menyerah kepada agama, meskipun dia mengakui juga, agama mempunyai daya tarik yang sangat kuat sehingga sulit untuk melawannya: "Kuseru saja Dia/sehingga datang juga/Kamipun bermuka-muka/seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada/Segala daya memadamkannya/Ini ruang/gelanggang kami berperang/Binasa membinasa/satu menista lain gila.
 
Sajaknya yang kedua tentang agama ditulis lima bulan kemudian, berjudul
"Isa". Dalam sajak ini, selain terpesona, Chairil juga tersindir dengan pengorbanan dan penderitaan yang dialami Nabi Isa untuk menyelamatkan umat manusia.
 
Ia merasa "minder" lantaran sikap hidupnya yang hanya memikirkan
kemerdekaan diri sendiri, dan tidak peduli pada orang lain. Ia seperti dihadapkan pada pertanyaan, "Apakah sebuah pengorbanan ada artinya?"
 
Pertanyaan itu terus mengganggu hingga keesokan harinya dia menyerah
dan menulis sajak "Doa" sebagai ekspresi penyerahdiriannya kepada Tuhan. Ia berseru: Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut nama-Mu/Biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh/caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di malam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/ Tuhanku/aku mengembara di negeri asing/Tuhanku/di pintu-Mu mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.
 
Dalam sajak ini Chairil memang tidak menjelaskan  apa alasan ia "menyerah", namun yang pasti ia merasa hilang bentuk dan  remuk ketika dia berjalan tanpa Tuhan.
 
Apakah dengan sajak ini Chairil telah  "menemukan kembali" Tuhan?
Jawaban sementara: "ya". Agaknya bila  Chairil tiba pada suatu titik kehidupan di mana dia mengambil suatu sikap secara lebih utuh, maka perasaan tenang datang meneduhinya.
 
Pada Februari 1947, dalam suasana yang sudah berbeda, Chairil
kembali menulis sajak tentang agama, yang berjudul "Sorga". Di sini,
dengan semangat eksistensialismenya yang kental, ia menggugat surga beserta gambarannya yang dijanjikan agama. Selanjutnya Chairil lebih memilih menolak agama karena agama memintanya untuk mengorbankan apa yang nyata sekarang, untuk digantikan sesuatu pada masa datang yang baginya belum pasti.
 
Maka bisa dipastikan, sesudah sikapnya ini Chairil kembali menemukan
dirinya  kesepian. Namun, perasaan itu tampaknya sudah dia harapkan
dan dia hadapi dengan tenang. Ia kembali memilih menjadi pengembara  selama hidupnya.
 
Meskipun, konon menurut kesaksian H.B. Jassin, menjelang mengembuskan nafasnya yang terakhir, Chairil ternyata  tetap tidak lupa menyebut nama Tuhan.

Di sela-sela panas badannya yang tinggi sebelum kematiannya, ia mengucap, Tuhanku, Tuhanku....
 

Gadis-Gadis Pun Memujanya
 

Teman dekat Chairil Anwar semasa kecil, Sjamsulridwan, pernah menulis di majalah Mimbar Indonesia, edisi Maret-April 1966. Katanya, salah satu sikap Chairil yang menonjol sejak kecil adalah sifatnya yang pantang  kalah.
 
"Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap menyala-nyala, dan boleh dikatakan tidak pernah diam."

Chairil dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922.
Ayahnya, Toeloes, berasal dari Payakumbuh (Sumatera Barat). Dia menjadi Pamongpraja di Medan, dan pada zaman revolusi sempat menjadi bupati Indragiri, Karesidenan Riau. Sedang ibunya, Saleha, berasal dari Koto Gadang (Sumatera Barat) dan masih mempunyai pertalian keluarga dengan ayah Sutan Syahrir  (tokoh PSI).
 
Menurut Sjamsulridwan, meski cukup terpandang dan disegani masyarakat sekitarnya, kehidupan kedua orangtua Chairil senantiasa ribut.  Mereka sama-sama galak, sama-sama keras hati, dan sama-sama tidak mau mengalah.

Hanya dalam satu hal mereka sama: dua-duanya sangat memanjakan Chairil. Segala keinginannya: mainan-mainan terbaru dan terbaik. Mereka pun selalu membenarkan sikap Chairil. Kalau ia berkelahi, ayahnya senantiasa membela. Bahkan kalau perlu ikut berkelahi.
 
Di luar rumah, Chairil tumbuh menjadi pemuda yang lincah dan penuh
percaya diri.  Di samping karena kedudukan ayahnya, otak yang tajam
dan cerdas serta sifatnya yang terbuka, tidak mengenal takut atau malu-malu, membuat ia dikenal dan menjadi kesayangan banyak pihak, baik di kalangan guru maupun di antara teman-temannya.

Di kalangan gadis-gadis, Chairil juga disukai karena wajahnya yang tampan dan menyerupai orang indo.
 
Demikianlah, semua orang seolah memanjakannya. Keuangannya tidak
pernah kurang. Sepedanya termasuk golongan yang  paling baik, di zaman
ketika mempunyai sepeda saja merupakan suatu kebanggaan. Dan ada sisi baik yang bisa dicatat dari gaya pergaulan Chairil, yaitu sikapnya tidak pernah sombong.

Meskipun dia angkuh dan selalu merasa hebat, dia selalu mudah sekali berkenalan dengan siapa saja, tanpa pernah membedakan status sosial, status ekonomi, dan intelektualitas.
 
Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di Medan.
Di HIS (setingkat SD) saja ia sudah menampakkan bakatnya sebagai siswa yang cerdas dan berbakat menulis. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP).

Ketika usia Chairil menginjak 19 tahun, dan duduk di kelas dua, ayahnya  kawin lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena mulai membenci ayahnya dan menginginkan kehidupan yang lain, ia memilih hijrah ke Batavia (Jakarta), dan meneruskan pendidikannya di sana.
 
Tak lama kemudian ibunya menyusul ke Jakarta. Perang Dunia  II dan
masuknya Jepang telah membuat keadaan jadi tidak menentu. Chairil pun
terbelit masalah keuangan setelah tidak mendapat kiriman dari ayahnya.
 
Akhirnya ia putus sekolah. Saat putus sekolah itu Chairil mengisi hidupnya dengan menggelandang ke sana-ke mari, dan membaca buku sebanyak-banyaknya.   Sebagai orang yang menguasai tiga bahasa (Inggris, Belanda, dan Jerman), ia tidak mendapat halangan apa pun untuk bisa membaca dan memahami semua karya sastra asing yang ia jumpai.

Penguasaan bahasa asing yang baik inilah yang banyak menolong Chairil
sehingga banyak buku yang belum dibaca seniman lain, ia sudah tahu isinya. Ia pun banyak menyadur dan menerjemahkan karya-karya sastra dunia itu ke bahasa Indonesia dengan  baik.
 
Masih soal membaca, menurut Sjamsulridwan, ketika masih di MULO,
Chairil telah bergaul dengan anak-anak HBS (setingkat SMA) tanpa rendah diri.
 
"Semua buku mereka aku baca," kata Chairil suatu hari. Di sini yang dimaksud Chairil adalah buku-buku mengenai pelajaran abstrak, seperti sastra, sejarah, ekonomi, dan lain-lain. Dan ucapan itu semata-mata untuk menunjukkan bahwa ia tidak pernah kurang dari mereka (anak-anak HBS).

Selama di Jakarta, Chairil juga mengembangkan pengetahuannya dengan meminjam buku dari pamannya, Sutan Sjahrir. Menurut H.B. Jassin, kalu sudah membaca buku, maka buku itu akan dibacanya dari malam sampai menjelang pagi.
 
Meskipun menganut pola kehidupan yang bohemian,  Chairil akhirnya
sempat juga berkeluarga. Ia menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6
Agustus 1946. Sayangnya rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Akhir 1948 mereka bercerai, dan putri tunggal mereka, Evawani Alissa, dibesarkan Hapsah.
 
Tanggal 28 April 1949, setelah sempat diopname selama lima hari di  CBZ (sekarang RSCM) karena penyakit TBC yang dideritanya, Chairil
mengembuskan nafas terakhir.

Ia meninggalkan warisan karya yang tidak begitu banyak, yaitu 70
puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4
prosa terjemahan. Kepada Evawani, putrinya yang masih berumur satu tahun, Chairil bahkan hanya mewariskan sebuah radio kecil, berbentuk kotak warna hitam, bermerek Philips. Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam salah satu bait puisinya: "di karet, di karet sampai juga/deru angin", Chairil dimakamkan di Pemakaman Karet pada hari berikutnya.

Label:

Karya-karya tentang Chairil Anwar

  • Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
  • Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
  • Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
  • S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
  • Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
  • Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
  • H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
  • Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
  • Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
  • Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
  • Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
  • Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)

Label:

Terjemahan ke bahasa asing

Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:
  • "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960)
  • "Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
  • Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
  • "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
  • The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
  • The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
  • Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
  • The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Label:

Karya tulis yang diterbitkan

Label:

Biografi Chairil Anwar

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil.


Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Label: