Jumat, 18 Maret 2011

KENANGAN DAN KESEPIAN

Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa
sawah dan bambu.

Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.

Cinta yang datang
burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.

Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu

Label:

KANGEN

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.

Label:

Kamis, 17 Maret 2011

Sajak Seorang Tua Untuk Isterinya

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

Label:

Mazmur Mawar

Kita muliakan Nama Tuhan
Kita muliakan dengan segenap mawar
Kita muliakan Tuhan yang manis,
indah, dan penuh kasih sayang
Tuhan adalah serdadu yang tertembak
Tuhan berjalan di sepanjang jalan becek
sebagai orang miskin yang tua dan bijaksana
dengan baju compang-camping
membelai kepala kanak-kanak yang lapar.
Tuhan adalah Bapa yang sakit batuk
Dengan pandangan arif dan bijak
membelai kepala para pelacur
Tuhan berada di gang-gang gelap
Bersama para pencuri, para perampok
dan para pembunuh
Tuhan adalah teman sekamar para penjinah
Raja dari segala raja
adalah cacing bagi bebek dan babi
Wajah Tuhan yang manis adalah meja pejudian
yang berdebu dan dibantingi kartu-kartu

Dan sekarang saya lihat
Tuhan sebagai orang tua renta
tidur melengkung di trotoar
batuk-batuk karena malam yang dingin
dan tangannya menekan perutnya yang lapar
Tuhan telah terserang lapar, batuk, dan selesma,
menangis di tepi jalan.
Wahai, ia adalah teman kita yang akrab!
Ia adalah teman kita semua: para musuh polisi,
Para perampok, pembunuh, penjudi,
pelacur, penganggur, dan peminta-minta
Marilah kita datang kepada-Nya
kita tolong teman kita yang tua dan baik hati.

Label:

Rabu, 16 Maret 2011

Lagu Serdadu

Kami masuk serdadu dan dapat senapang
ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak

Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali
Wahai, tanah yang baik untuk mati
Dan kalau ku telentang dengan pelor timah
cukilah ia bagi puteraku di rumah

Label:

GUGUR

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya

Label:

Selasa, 15 Maret 2011

Lagu Seorang Gerilya

Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.

Malam bermandi  cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu

Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka  di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata

Label:

Hai, Kamu !

Luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
noda di dalam pergaulan antar manusia,
duduk di dalam kemacetan angan-angan.
Aku berontak dengan memandang cakrawala.

Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.

Label:

Senin, 14 Maret 2011

Gerilya

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan

Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama

Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya

Label:

Orang-Orang Miskin

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan  kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Label:

Minggu, 13 Maret 2011

Perempuan yang Tergusur

Hujan lebat turun di hulu subuh
disertai angin gemuruh
yang menerbangkan mimpi
yang lalu tersangkut di ranting pohon

Aku terjaga dan termangu
menatap rak buku-buku
mendengar hujan menghajar dinding
rumah kayuku.
Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi
dan lalu terbayanglah wajahmu,
wahai perempupan yang tergusur!


Tanpa pilihan
ibumu mati ketika kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.

Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
ketika ikut demontrasi politik
sebagai demonstran bayaran.

Sebagai janda yang pelacur
kamu tinggal di gubuk tepi kali
dibatas kota
Gubernur dan para anggota DPRD
menggolongkanmu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.

Didalam hujuan lebat pagi ini
apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan
sambhil memeluk kantong plastik
yang berisi sisa hartamu?
Ataukah berteduh di bawah jembatan?

Impian dan usaha
bagai tata rias yang luntur oleh hujan
mengotori wajahmu.
kamu tidak merdeka.
Kamu adalah korban tenung keadaan.
Keadilan terletak diseberang highway yang bebahaya
yang tak mungkin kamu seberangi.

Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.
Tetapi aku memihak kepadamu.
Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingin
di jidatmu?

O,cendawan peradaban!
O, teka-teki keadilan!

Waktu berjalan satu arah saja.
Tetapi ia bukan garis lurus.
Ia penuh kelokan yang mengejutkan,
gunung dan jurang yang mengecilkan hati,
Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya
puncak penderitaan yang menyakitkan hati,
atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,
selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,
ialah kedudukan kaum terhina.

Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.

Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana
semak yang berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di hati ini.

Label:

SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.


======
Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan
dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998

Label:

Sabtu, 12 Maret 2011

Makna sebuah titipan

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,


kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"

Label:

Sajak Burung-Burung Kondor

Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani – buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.

Label:

Jumat, 11 Maret 2011

Sajak Gadis Dan Majikan

Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu.
Aku bukan ahli ilmu menduga,
tetapi jelas sudah kutahu
pelukan ini apa artinya…..
Siallah pendidikan yang aku terima.
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,
kerapian, dan tatacara,
Tetapi lupa diajarkan :
bila dipeluk majikan dari belakang,
lalu sikapku bagaimana !

Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.
Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,
Ketika tuan siku teteku,
sudah kutahu apa artinya……

Mereka ajarkan aku membenci dosa
tetapi lupa mereka ajarkan
bagaimana mencari kerja.
Mereka ajarkan aku gaya hidup
yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.
Diajarkan aku membutuhkan
peralatan yang dihasilkan majikan,
dan dikuasai para majikan.
Alat-alat rias, mesin pendingin,
vitamin sintetis, tonikum,
segala macam soda, dan ijazah sekolah.
Pendidikan membuatku terikat
pada pasar mereka, pada modal mereka.

Dan kini, setelah aku dewasa.
Kemana lagi aku ‘kan lari,
bila tidak ke dunia majikan ?

Jangnlah tuan seenaknya memelukku.
Aku bukan cendekiawan
tetapi aku cukup tahu
semua kerja di mejaku
akan ke sana arahnya.
Jangan tuan, jangan !
Jangan seenaknya memelukku.
Ah, Wah .
Uang yang tuan selipkan ke behaku
adalah ijazah pendidikanku
Ah, Ya.
Begitulah.
Dengan yakin tuan memelukku.
Perut tuan yang buncit
menekan perutku.
Mulut tuan yang buruk
mencium mulutku.
Sebagai suatu kewajaran
semuanya tuan lakukan.
Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.
Mereka pegang kedua kakiku.
Mereka tarik pahaku mengangkang.
Sementara tuan naik ke atas tubuhku.

Label:

Tuhan, Aku Cinta Padamu

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu

Label:

Kamis, 10 Maret 2011

Kupanggil Namamu

Sambil menyeberangi sepi,
Kupanggili namamu, wanitaku
Apakah kau tak mendengar?

Malam yang berkeluh kesah
Memeluk jiwaku yang payah
Yang resah
Karena memberontak terhadap rumah
Memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala

Sia-sia kucari pancaran matamu
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa
Sia-sia
Tak ada yang bisa kucamkan
Sempurnalah kesepianku

Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi
Dan duabelas ekor serigala
Muncul dari masa silamku
Merobek-robek hatiku yang celaka

Berulangkali kupanggil namamu
Dimanakah engkau wanitaku?
Apakah engkau sudah menjadi masa silamku?

Label:

PUISI PESAN PENCOPET KEPADA PACARNYA

Sitti,
kini aku makin ngerti keadaanmu
Tak ‘kan lagi aku membujukmu
untuk nikah padaku
dan lari dari lelaki yang miaramu

Nasibmu sudah lumayan
Dari babu dari selir kepala jawatan
Apalagi?
Nikah padaku merusak keberuntungan
Masa depanku terang repot
Sebagai copet nasibku untung-untungan
Ini bukan ngesah
Tapi aku memang bukan bapak yang baik
untuk bayi yang lagi kau kandung

Cintamu padaku tak pernah kusangsikan
Tapi cinta cuma nomor dua
Nomor satu carilah keslametan
Hati kita mesti ikhlas
berjuang untuk masa depan anakmu
Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu
Kuraslah hartanya
Supaya hidupmu nanti sentosa
Sebagai kepala jawatan lelakimu normal
suka disogok dan suka korupsi
Bila ia ganti kau tipu
itu sudah jamaknya
Maling menipu maling itu biasa
Lagi pula
di masyarakat maling kehormatan cuma gincu
Yang utama kelicinan
Nomor dua keberanian
Nomor tiga keuletan
Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta
Inilah ilmu hidup masyarakat maling
Jadi janganlah ragu-ragu
Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu

Usahakan selalu menanjak kedudukanmu
Usahakan kenal satu menteri
dan usahakan jadi selirnya
Sambil jadi selir menteri
tetaplah jadi selir lelaki yang lama
Kalau ia menolak kau rangkap
sebagaimana ia telah merangkapmu dengan isterinya
itu berarti ia tak tahu diri
Lalu depak saja dia
Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan
asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya
Ini selalu menarik seorang menteri
Ngomongmu ngawur tak jadi apa
asal bersemangat, tegas, dan penuh keyakinan
Kerna begitulah cermin seorang menteri

Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti
Siang malam jagalah ia
Kemungkinan besar dia lelaki
Ajarlah berkelahi
dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang
Jangan boleh menilai orang dari wataknya
Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan
Kawan bisa baik sementara
Sedang lawan selamanya jahat nilainya
Ia harus diganyang sampai sirna
Inilah hakikat ilmu selamat
Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi
Jangan boleh ia nanti jadi propesor atau guru
itu celaka, uangnya tak ada
Kalau bisa ia nanti jadi polisi atau tentara
supaya tak usah beli beras
kerna dapat dari negara
Dan dengan pakaian seragam
dinas atau tak dinas
haknya selalu utama
Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu
dan wataknya licik seperti saya–nah!
Ini kombinasi sempurna
Artinya ia berbakat masuk politik
Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen
Atau bahkan jadi menteri
Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta

Label:

Rabu, 09 Maret 2011

Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta

Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
Telah diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu

Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban

Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban

Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu

Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya

Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Sedang diluar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya
Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan
Namun
Sesalkan mana yang kau kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kau rela dibikin korban
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Berhentilah tersipu-sipu
Ketika kubaca di koran
Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku
Ini tak bisa dibiarkan
Astaga
Mulut-mulut badut
Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan

Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
Mereka harus pulihkan darjat kalian
Mereka harus ikut memikul kesalahan

Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Menganjurkan mengganyang pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengahwini para bekas pelacur
Adalah omong kosong

Pelacur-pelacur kota Jakarta
Saudari-saudariku
Jangan melulur keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya.

Label:

PUISI DOA DI JAKARTA

Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.

Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.

Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.

Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan -
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.

Ibumu mempunyai hak yang sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekali
Kebaikanmu yang banyak ini
Sungguh di sisi-Nya masih sedikit
Berapa banyak malam yang ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmu
Dalam pelayanannya ia menanggung rintih dan nafas panjang
Ketika melahirkan andai kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnya
Dari balik sumbatan kerongkongannya hatinya terbang
Berapa banyak ia membasuh sakitmu dengan tangannya
Pangkuannya bagimu adalah sebuah ranjang
Sesuatu yang kamu keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinya
Dari susunya keluarlah minuman yang sangat enak buatmu
Berapa kali ia lapar dan ia memberikan makanannya kepadamu
Dengan belas kasih dan kasih sayang saat kamu masih kecil
Aneh orang yang berakal tapi masih mengikuti hawa nafsunya
Aneh orang yang buta mata hatinya sementara matanya melihat
Wujudkan cintaimu dengan memberikan doamu yang setulusnya pada ibumu
Karena kamu sangat membutuhkan doanya padamu

Label:

Selasa, 08 Maret 2011

Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Label:

Aku Tulis Pamplet Ini

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai  sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

Label:

Penyair terkemuka W.S Rendra meninggal dunia

Budayawan dan penyair terkemuka Indonesia W.S Rendra, yang juga mempunyai banyak peminat di Malaysia, meninggal dunia di sebuah hospital di sini malam tadi setelah lebih sebulan dirawat kerana penyakit jantung.
Media massa tempatan melaporkan Rendra, 74, yang juga dikenali “Si Burung Merak” meninggal dunia pada 10.15 malam tadi, dan meninggalkan 11 orang anak daripada tiga orang isteri, yang mana dua daripadanya sudah diceraikan.
Setelah memeluk Islam pada Ogos 1970 ketika menikahi isteri keduanya, Sitoresmi Prabuningrat, beliau menukar namanya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra daripada nama asalnya Willibrodus Surendra Broto Renda.
Selain sajak-sajaknya, Rendra juga dikenali ramai di Malaysia melalui filem bertema agama yang dilakoninya “Al Kautsar” pada tahun 1980-an.
Jenazah Allahyarham dijadual dikebumikan selepas solat Jumaat di Bengkel Teater, Citayam, Depok dekat sini, tidak jauh dari kubur sahabatnya, Mbah Surip, penyanyi reggae yang mendadak popular di Indonesia dengan lagu “Tak Gendong”, yang meninggal dunia Selasa lepas.
Rendra beberapa kali memperoleh anugerah dalam bidang sastera, antaranya Penghargaan Adam Malik pada 1989, SEA Write Award pada 1996 dan Penghargaan Achmad Bakri pada 2006.

Label:

Senin, 07 Maret 2011

Biografi W.S Rendra

Nama Pena:
WS Rendra

Nama Asal:
Willibrordus Surendra Broto Rendra

Nama Setelah Memeluk Islam:Wahyu Sulaiman Rendra
Memeluk Islam : 12  Ogos 1970
Seniman ini mengucapkan dua kalimat syahadah pada hari perkahwinannya dengan Sitoresmi pada 12 Ogos 1970, dengan disaksikan dua lagi tokoh sastera Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Gelaran: Si Burung Merak
Julukan si Burung Merak bermula ketika Rendra dan sahabatnya dari Australia berlibur di Kebun Binatang Gembiraloka, Yogyakarta. Di kandang merak, Rendra melihat seekor merak jantan berbuntut indah dikerubungi merak-merak betina. “Seperti itulah saya,” tutur Rendra spontan. Kala itu Rendra memiliki dua isteri, iaitu Ken Zuraida dan Sitoresmi.
Tempat Lahir: Solo, Jawa Tengah.
Tarikh Lahir: 7 November 1935.
Tarikh Meninggal Dunia : Khamis, 6 Ogos 2009 pukul 22.10 WIB di RS Mitra Keluarga, Depok.
Dimakamkan selepas solat Jumaat 7 Ogos 2009 di TPU Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok.
Agama:
Islam

Isteri:
- Sunarti Suwandi (Nikah 31 Mac 1959 dikurniakan lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Cerai 1981)
- Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat (Nikah 12 Ogos 1970, dikurniakan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Cerai 1979)
- Ken Zuraida (dikurniakan dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba).

Pendidikan:
- SMA St. Josef, Solo
- Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
- American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967)

Sebahagian Karya-Karya Rendra:

Drama
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata)
SEKDA (1977)
Selamatan Anak Cucu Sulaiman
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan karya William Shakespeare)
Macbeth (terjemahan karya William Shakespeare)
Oedipus Sang Raja (terjemahan karya Sophokles)
Lisistrata (terjemahan)
Odipus di Kolonus (terjemahan karya Sophokles),
Antigone (terjemahan karya Sophokles),
Kasidah Barzanji
Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan karya Jean Giraudoux) Panembahan Reso (1986)
Kisah Perjuangan Suku Naga

Puisi
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
Blues untuk Bonnie
Empat Kumpulan Sajak
Jangan Takut Ibu
Mencari Bapak
Nyanyian Angsa
Pamphleten van een Dichter
Perjuangan Suku Naga
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Rick dari Corona
Rumpun Alang-alang
Sajak Potret Keluarga
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
State of Emergency
Surat Cinta
Pranala luar

Kegiatan Lain:
Anggota Persilatan PGB Bangau Putih

Penghargaan:
Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1957)
Anugerah Seni dari Departemen P & K (1969)
Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975)
Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
Penghargaan Adam Malik (1989)
The S.E.A. Write Award (1996)
Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Biodata:
WS Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Rendra dilahirkan di Solo, 7 November 1935. Beliau mendapat pendidikan di Jurusan Sastera Barat Fakultas Sastra UGM (tidak tamat), kemudian memperdalam pengetahuan mengenai drama dan teater di American Academy of Dramatical Arts, Amerika Syarikat (1964-1967).

Sekembali dari Amerika, beliau mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1967 dan sekaligus menjadi pemimpinnya. Pada perkembangannya, Bengkel Teater dipindahkan oleh Rendra ke Depok.
Tahun 1971 dan 1979 dia membacakan sajak-sajaknya di Festival Penyair International di Rotterdam. Pada tahun 1985 beliau mengikuti Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman. Kumpulan puisinya; Ballada Orang-orang Tercinta (1956), 4 Kumpulan Sajak (1961), Blues Untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), Disebabkan Oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993) dan Perjalanan Aminah (1997).
Puisi Terakhir WS Rendra
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu
~ Allahyarham Rendra menulis puisi ini saat ia terbaring di rumah sakit Mitra Keluarga, Depok, 31 Julai lalu.
Untuk membaca puisi-puisi Rendra, sila klik sini.
—————————————————–
Pemergian Rendra
Penyair ternama WS Rendra atau lebih terkenal dengan panggilan ‘Burung Merak’ meninggal dunia pada usia 74 tahun di Hospital Mitra Keluarga, Depok, Jawa Barat, pukul 10 malam Khamis 6 Ogos 2009.
Penyair dan pelakon drama yang nama penuhnya Wahyu Sulaiman Rendra meninggalkan 11 orang anak hasil daripada tiga pernikahannya.
Rendra terkenal dengan sajak-sajaknya yang penuh dengan sindiran dan kritikan cukup mahir memainkan emosi penonton ketika melakukan persembahan.
Beliau yang lebih akrab dipanggil Willy mencurahkan sebahagian besar hidupnya terhadap dunia sastera dan teater. Menggubah serta mendeklamasi puisi, menulis skrip serta berlakon drama merupakan kemahirannya yang tidak ada bandingan.
Hasil seni dan sastera yang digarap cukup dikenali oleh peminat seni tempatan mahupun dari luar negara.
Allahyarham bukanlah penyair biasa. Sajak dan puisinya padat dengan nada protes. Jadi tidak hairanlah Kerajaan Indonesia pernah mengharamkan karya beliau daripada dipersembahkan pada tahun 1978.
Tidak hanya sajak dan puisi yang sering menyebabkan rasa tidak puas hati kerajaan, bahkan dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor juga menjadi sasaran.
Di samping karya berbau protes, sasterawan kelahiran Solo, 7 November 1935 ini juga sering menulis karya sastera yang menyuarakan kehidupan kelas bawahan seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya.
Beliau mengasah bakat di dalam bidang tersebut sejak menuntut di Fakulti Sastera dan Kebudayaan Universiti Gajah Mada. Pada ketika itu cerpennya disiarkan di majalah seperti Mimbar Indonesia, Basis, Budaya Jaya dan Siasat.
Dia juga menimba ilmu di American Academy of Dramatical Art, New York, Amerika Syarikat. Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, jejaka yang tinggi lampai dan berambut panjang itu menubuhkan bengkel teater di Yogyakarta.
Tidak lama bengkel teater tersebut dipindahkan ke Citayam, Cipayung, Depok, Jawa Barat. Oleh kerana karya-karyanya yang begitu gemilang, Rendra beberapa kali pernah tampil dalam acara bertaraf antarabangsa. Sajaknya yang berjudul Mencari Bapak, pernah dibacakannya dalam acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-118 Mahatma Gandhi pada 2 Oktober 1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial International School Jakarta.
Beliau juga pernah ikut serta dalam acara penutupan Festival Ampel Antarabangsa 2004 yang berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur, 22 Julai 2004.
Meskipun sudah terkenal, ternyata masih banyak keinginan WS Rendra yang belum dipenuhi dan semua dirakamkan dalam sebuah puisi yang dibuatnya beberapa hari sebelum Si Burung Merak tersebut menghembuskan nafasnya yang terakhir.
“Dia meninggalkan satu puisi, puisi itu menyebutkan bahawa masih banyak keinginannya tetapi dia tidak mampu. Jadi semangat masih ada tapi dia tidak mampu mengatasi situasi dirinya yang semakin lemah,” kata salah seorang sahabat Rendra, sasterawan Jose Rizal Manua.
Puisi itu dibuat Rendra tiga atau empat hari lalu ketika masih dirawat di hospital dan puisi tersebut disampaikan oleh salah seorang anak perempuan Rendra.
Dari segi perkahwinan – isteri pertama Rendra, Sunarti terlebih dahulu meninggalkannya. Daripada perkahwinan dengan Sunarti, Rendra dikurniakan lima orang anak iaitu Tedy, Andre, Clarasinta, Daniel Seta dan Samuel.
Sementara isteri keduanya bernama Sitoresmi. Rendra memiliki empat orang anak hasil perkahwinan itu dan mereka ialah Yonas, Sara, Naomi dan Rachel. Namun Sitoresmi dan Rendra akhirnya bercerai. Ken Zuraida adalah wanita terakhir yang dinikahi Rendra dan memperolehi dua orang anak iaitu Isayasa Sadewa dan Mariam.
Kini dunia seni kehilangan sosok Rendra, tetapi Si Burung Merak itu akan terus menjadi inspirasi kepada generasi muda pencinta seni.

Label:

Surat Cinta

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !

Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !

Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan

Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain…
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa

Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit:
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku

Engkau adalah putri duyung
tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !

Label:

Nina Bobok Bagi Pengantin

Awan bergoyang, pohonan bergoyang
antara pohonan bergoyang malaikat membayang
dari jauh bunyi merdu loceng loyang

Sepi, syahdu, rindu
candu rindu, ghairah kelabu
rebahlah, sayang, rebahlah wajahmu ke dadaku

Langit lembayung, pucuk-pucuk daun lembayung
antara daunan lembayung bergantung hati yang ruyung
dalam hawa bergulung mantera dan tenung

Mimpi remaja, bulan kenangan
duka cinta, duka berkilauan
rebahlah sayang, rebahkan mimpimu ke dadaku

Bumi berangkat tidur
duka berangkat hancur
aku tampung kau dalam pelukan tangan rindu

Sepi dan tidur, tidur dan sepi
sepi tanpa mati, tidur tanpa mati
rebahlah sayang, rebahkan dukamu ke dadaku.

Label:

Minggu, 06 Maret 2011

Sajak Doa Orang Lapar

Kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam

Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin

Kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan

Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran

Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin

Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca

Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam

Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu

Label:

Puisi Renungan Indah

Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku

Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia menitipkan padaku ?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku

Aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

Label:

Sabtu, 05 Maret 2011

Doa Di Jakarta

Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.

Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.

Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.

Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan -
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata

Label:

NYANYIAN ANGSA

Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).

Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)

Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)

Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)

Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).

Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.

(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.

Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)

Label:

Jumat, 04 Maret 2011

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak – kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan – pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis – papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak – kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
……………………..
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana – sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung – gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes – protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair – penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
termangu – mangu di kaki dewi kesenian

bunga – bunga bangsa tahun depan
berkunang – kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta – juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
……………………………

kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

Label:

Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api

Bagaimana mungkin kita bernegara
bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
bagaimana mungkin kita berbangsa
bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup bersama ?

Itulah sebabnya
kami tidak ikhlas
menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
sehingga menjadi lautan api

Kini batinku kembali mengenang
udara panas yang bergetar dan menggelombang,
bau asap, bau keringat
suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
langit berwarna kesumba

Kami berlaga
memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
yang bisa dialami dengan nyata
mana mungkin itu bisa terjadi
di dalam penindasan dan penjajahan
manusia mana
akan membiarkan keturunannya hidup
tanpa jaminan kepastian?

Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah
hidup yang diperkembangkan
dan hidup yang dipertahankan
itulah sebabnya kami melawan penindasan
kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
bangsa tetap terjaga

Kini aku sudah tua
aku terjaga dari tidurku
di tengah malam di pegunungan
bau apakah yang tercium olehku?

Apakah ini bau asap medan laga tempo dulu
yang dibawa oleh mimpi kepadaku?
ataukah ini bau limbah pencemaran?

Gemuruh apakah yang aku dengar ini?
apakah ini deru perjuangan masa silam
di tanah periangan?
ataukah gaduh hidup yang rusuh
karena dikhianati dewa keadilan.
Aku terkesiap
sukmaku gagap
apakah aku dibangunkan oleh mimpi?
Apakah aku tersentak
oleh satu isyarat kehidupan?
Di dalam kesunyian malam
aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku
Apakah yang terjadi?

Darah teman-temanku
telah tumpah di Sukakarsa
di Dayeuh Kolot
di Kiara Condong
di setiap jejak medan laga.

Kini
kami tersentak,
terbangun bersama.
putera-puteriku, apakah yang terjadi?
apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami?

Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,
apakah kita masih sama-sama setia
membela keadilan hidup bersama

Manusia dari setiap angkatan bangsa
akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
aan menghadapi pertanyaan jaman:
apakah yang terjadi?
apakah yang telah kamu lakukan?
apakah yang sedang kamu lakukan?

Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
dari jawaban yang kita berikan.

Label:

Kamis, 03 Maret 2011

Sajak Pertemuan Mahasiswa

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung di dalam hutan

lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan

kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : “kami ada maksud baik”
dan kita bertanya : “maksud baik untuk siapa ?”

ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
“maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?”

kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah – tanah di gunung telah dimiliki orang – orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat – alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :
“lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu – ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?

sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak – cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan – pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra

di bawah matahari ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !

Label:

Sajak Orang Kepanasan

Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu …..
karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan …..
maka kita bukan sekutu

karena kami kucel
dan kamu gemerlapan …..
karena kami sumpeg
dan kamu mengunci pintu …..
maka kami mencurigaimu

karena kami terlantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan …..
karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar …..
maka kami tidak menyukaimu

karena kami dibungkam
dan kamu nrocos bicara …..
karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan …..
maka kami bilang TIDAK kepadamu

karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana …..
karena kami cuma bersandal
dan kamu bebas memakai senapan …..
karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara …..
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu

Label:

Rabu, 02 Maret 2011

Pamflet Cinta

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sihat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.

Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna.
Makna menjadi harapan.
… Sebenarnya apakah harapan?

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
*Punggungku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang…
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.

Lalu muncullah kamu,
Nongol dari perut matahari bunting,
Jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmatku turun bagai hujan
Membuatku segar,
Tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!

Yaaahhhh, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
Dan sedih karena kita sering terpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.

Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Label:

Kelelawar

Silau oleh sinar lampu lalulintas
Aku menunduk memandang sepatuku.
Aku gentayangan bagai kelelawar.
Tidak gembira, tidak sedih.
Terapung dalam waktu.
Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.
Sungguh tidak menyangka
Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.

Sekarang aku kembali berjalan.
Apakah aku akan menelefon teman?
Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?
Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.
Masalah sosial dipoles gincu menjadi ######fizika.
Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.
Hanya kamu yang enak diajak bicara.

Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.
Akan menulis sajak-sajak lagi.
Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.
Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.
Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.

Label:

Selasa, 01 Maret 2011

Bahwa Kita Ditantang Seratus Dewa

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara engkau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerana setiap orang mengalaminya
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahsia langit dan samodra
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
tetapi demi kehormatan seorang manusia.
kerana sesungguhnya kita bukanlah debu
meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan kehidupan.
Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa hidup kita ditatang seratus dewa.

Label:

Rajawali

Sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri

Rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

Langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

Rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana

Rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka

Label:

Rumpun Alang-alang

Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal

Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada

Label: